Advertisement
Mengupas kekejaman manusia, alam dan lingkungan. Kajian tentang kerusakan tatanan lingkungan dan kebijakan pemerintah dalam menanggulangi bencana dan bahaya laten kerusakan alam. Sebuah prinsip dalam mengelolah lingkungan-, enviromental ethics.
Sebuah Ilustrasi, kerusakan hutan dan lingkungan |Foto/Pixabay| |
Indonesia sebagai negara beriklim tropis. Di awal-awal bulan september dan oktober. Kita biasanya sudah di sibukan oleh berbagai ragam aktifitas. Di mulai dari usaha tani, biaya produksi, konsumsi, pendidikan sekolah hingga transaksi dalam upaya mengentas dan perioritas keberlangsungan hidup kita semua. Entah apa yang harus di kerjakan lagi oleh manusia. Selain bersandar pada kebutuhan primer, pasar dan standar hidup yang tidak tercukupi. Kita kadang disulitkan oleh hal sepele seperti makan dan minum sehari-hari. Begitu pula ‘hidup dan kerja’.
Lantas kemudian. Apakah kita akan merdeka?
Jika hari ini saja standar kebutuhan kita semakin meningkat, biaya produksi semakin mahal dan aturan main masih saja di atur. Apa kebijakan pemerintah? Kalau memang Pemerintah bisa! Paling tidak rumus yang mereka pakai melalui jalur politik, hukum dan ekonomi, bukan lingkungan dan alam.
Kenapa?
Karena mereka tahu bahwa dengan politik, hukum dan ekonomi itu manusia hitam bisa berubah menjadi putih. Dan manusia kasar bisa menjadi lunak. Ataupun dengan istilah lain manusia bodoh bisa di anggap pintar. Sujud mereka hanya bisa bertakbir pada kemakmuran negara. Bukan pada kemajuan dan kemerdekaan bangsa. Di Inggris, kalau kita melihat Margaret Thacer itu berkali-kali jadi perdana Menteri bukan karena dia hanya taat pada soal politik, hukum dan ekonomi saja. Melainkan kendati pada lingkungan dan alam. Ini mirip sekali apa yang di istilahkan oleh ‘Daren Acegmolu’. Yang menganalisa bahwa negara akan gagal bila penguasa itu taat pada ekonomi, hukum dan politik.
Dengan maksud, dia menilai bahwa perubahan cuaca, over populasi penduduk, suhu udara meningkat, komposisi tanah terkuras, dan sifat air menurun. Itu semua salah satu akar penyebabnya adalah ekonomi, hukum dan politik masih di pakai oleh negara. Tujuan kita bukan berarti negara akan maju bila politik itu hilang. Juga ekonomi akan hancur bila politik tidak dipakai. Atau hukum misalnya tidak akan berlaku, bila masalah belum selesai. Tidak! Justru dasar dan daripada filosofi politik itu adalah hukum dan ekonomi.
Misalnya dalam soal itu. Kenapa Indonesia terbelakang? Apa dampak dan faktor penyebabnya? Dan bagaimana akar permasalahan dan solusinya?
Kalau kita menilik pada soal semacam itu. Tentu permasalahanya akan kembali pada pohon, akar, bunga, daun dan bahkan udara yang menghidupkan pohon politik itu bisa berubah menjadi tumbuh. Namun apa dan bagaimana output (di hasilkan) oleh Pemerintah. Justru terbalik; “Demi pembangunan dan investor asing yang masuk. Maka silakan merusak lingkungan dan melanggar aturan”. Ini yang saya kira prinsip-prinsip enviromental ethics (etika lingkungan) tidak di berlakukan oleh pemerintah sebagai aset dan pertumbuhan ekonomi.
Sehingga dampak lingkungan akan menghambat percepatan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dan begitu pula dengan faktor alam. Harus di jaga, di pelihara, dan di lindungi dengan baik. Supaya tujuan akhir dari segala spesies manusia bisa sejahtera, makmur, dan hidup merdeka. Baik secara politik, ekonomi maupun aturan hukum yang di fungsikan oleh negara.
Kalau hal-hal yang semacam ini bisa di input oleh negara. Maka saya kira Indonesia akan becoming of Indonesia. Atau Indonesia yang tanpa ambangbatas. Dengan istilah ‘Indonesia maju dan berkembang’. Hanya itu hal yang kemudian saya kira membuat negara kita gugur. Selain daripada hukum, politik dan ekonomi. Juga pada faktor alam dan lingkungan. Meski--pun ada hal-hal lain misalnya. Namun tidak menjadi soal. Karena problem dasarnya ialah pelestarian hutan, ekosistem terlindungi dan alam terjaga, itu kuncinya yang membuat rakyat menjadi makmur.
Namun, bagaimana dengan pembangunan dan jumlah penduduk yang meningkat. Apakah mungkin negara ‘bebas jual beli’ dan tawar menawar tanpa batas?
Saya kira medan politik itu bukan asas dan hak atas kepentingan investasi, melainkan kebijakan dan hak kepentingan publik yang harus di tunaikan dengan baik. UU dan konstitusional tertinggi kita menjamin bahwa segala kemerdekaan dan kemakmuran adalah milik rakyat atau masyarakat. Oleh karena itu negara harus mengedepankan filosofi pohon itu tidak ‘berfikir’. Namun ‘menghasilkan’.
Kalau soal semacam itu tidak bisa di amati dengan baik oleh rezim kekuasaan. Maka tidak heran ruh dan kejiwaan ekonomi akan menghidupkan dan mematikan tubuh politik kita. Analisa singkat yang saya maksud itu bahwa kehancuran alam, lingkungan, dan terbunuhnya ekosistem itu semunya pertanda hubungan manusia, alam dan lingkungan mulai hancur. Dosa politik mulai terkabul. Jared daimond melihat manusia-manusia semacam itu tidak bersetubuh lagi dengan alam, dan lingkungan melainkan sudah terpisah.