-->

Iklan

Selasa, 24 Agustus 2021, Agustus 24, 2021 WIB
Last Updated 2021-08-24T11:24:56Z
Sosdikbud

Guru; Pahlawan yang Terabaikan

Advertisement

Foto ilustrasi. Seorang guru mendidik muridnya di bawah pohon di Kamboja/Pixabay/Sasin Tipchai




Sumber | Fahrudin

Penulis | Fahrudin


 

Info720.com—Sejumlah pujian bertengger di pundak seorang guru, sebuah hadiah atas dedikasinya dalam tugas mulia, yakni membimbing dan mendidik. Kalimat yang kerap disandangkan oleh banyak orang kepada guru, seperti, ‘guru digugu dan ditiru’ ‘Guru pahlawan tanpa tanda jasa’.

 

Bukan tanpa alasan, juga bukan pula pemberian secara cuma-cuma, seluruh keistimewaan (terkecuali hal berupa finansial) yang dicapai oleh para guru yang ia dapat dan diakui oleh masyarakat luas. Ini merupakan indikator sederhana, bahwa profesi guru di mata masyarakat merupakan pekerjaan yang mulia.

 

Apakah capaian guru mendapatkan pengakuan dari banyak pihak tersebut berjalan lurus dengan kesejahteraan hidup yang dirasakan olehnya, dalam hal materi dan kelayakan hidup? khusus mereka yang mejadi guru non PNS. Pertanyaan ini penting untuk di jawab, guna memperjelas posisi dengan kondisi yang di alami langsung oleh seorang guru non PNS.

 

Bayangkan saja, seorang guru yang konon katanya adalah golongan terdidik yang memiliki tanggungjawab besar dalam mendidik, mengayom, dan mengarahkan para murid dalam menjalankan misi besar dan mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, (UU No. 14 Tahun 2005, pasal 1 dan 2) hanya dihadiahi dengan bayaran yang tak masuk akal, bahkan jauh dari kata pas-pasan. Kondisi ini sungguh berbanding terbalik dengan profesi lain.

 

Alih-alih setelah kuliah ingin mengajar dengan mendapatkan gaji yang cukup bahkan impian semua orang, tentu sangat berharap memuaskan. Ternyata kenyataan hidup yang dialami oleh para guru non PNS begitu sangat memperihatinkan.

 

Berdasarkan hasil penelitian Ilyas Yasin, bahwa mereka hanya digaji Rp100.000 (seratus ribu rupiah) perbulan (Ilyas Yasin dan Enung, 2021, 42).

 

Tanggungjawab sebesar itu, sayang tidak di imbangi oleh pemerintah dengan imbalan yang cukup. Tentu ini bukan—lah menghitung kerja maupun kinerja para guru non PNS dengan nilai materi.

 

Jujur saja, apa yang dilakukan oleh para guru jika di materilkan tidaklah sebanding dengan jasa dan dedikasi yang mereka lakukan.

 

Belum lagi tanggungjawab guru dalam menunaikan tugas mulianya menuai kritik dari banyak pihak. Terutama soal anak didiknya yang kadang-kadang sulit dinasehati sehingga menimbulkan pertikain antara banyak pihak, guru—pun ditimpali dengan tugas berat.

 

Kita mungkin pernah mendengar, bahwa kesalahan yang dilakukan oleh para siswa, sering kali yang disalahkan adalah guru. Cerita semacam ini bukan lagi canda tawa atau gurau belaka, tapi kenyataan yang mungkin semua orang mengabaikan.

 

Hingga pada akhirnya guru—lah yang menanggung dosa atas kenaifan anak didiknya. Suka dan tidaknya! Tentu guru tetap bertanggungjawab walau kadang harus berurusan dengan pihak yang berwajib.

 

Meski cerita nestapa antara guru dan murid menghiasa sampul media online maupun cetak, tetap saja orang-orang menyebutnya ulah ‘guru’.

 

Dunia ini memang tidak sedang berada dipihak guru. Negara sekali—pun, seolah tidak tahu—menau, perihal apa yang menimpa guru-guru bangsa dan terutam mereka yang menyandang status non PNS.

 

Guru dalam pelabelan ‘honorer’

Menurut E. Mulyasa, guru honorer atau penulis lebih cenderung menggunakan kata non PNS adalah guru yang diangkat secara resmi oleh pejabat yang berwenang untuk mengatasi kekurangan tenaga pendidik, namun belum berstatus sebagai pegawai negeri sipil (E. Mulyasa, 2006).

 

Terkait dengan pelabelan honorer di depan kata ‘guru’ yang belum PNS merupakan bagian dari problem dalam dunia pendidikan Indonesia.

 

Bagaimana tidak, gangguan psikologi dari para guru yang belum di angkat sebagai PNS dihadapan mereka yang sudah berstatus PNS secara langsung membuat guru belum berstatus PNS merasa rendah diri (Lalu Reza, Wiwin, 2019, 293-303).

 

Disadiri dan tidak, kenyataan ini sudah terlanjur menyakiti guru yang belum berstatus PNS. Serangan psikologis serta kurangnya perhatian pemerintah pada guru yang belum PNS menambah deretan luka bagi para guru non PNS.

 

Perbedaan gaji juga bak langit dan bumi, jauh panggang dan api. Guru PNS, tentu setiap bulanya akan menerima gaji sekitar 7 jutaan saja untuk guru yang sudah memiliki sertifikasi (Lalu Reza, Wiwin, 2019, 293-303).

 

Sedangkan gaji yang diterima oleh para guru dengan label honorer per bulanya mendapatkan gaji yang menurut Darmaningtyas, memiliki permasalahan yang cukup kompleks. Honor yang didapat oleh guru honorer di Sekolah Dasar Negeri rata-rata di bawah Rp.5000,00 per jam per bulan, (Darmaningtyas, 2004).

 

Lebih miris lagi, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mencatat, rata-rata gaji guru honorer hanya berada di kisaran Rp200 ribu per bulan. Seperti yang didapatkan Siswanto, setiap bulan tak pernah lebih dari Rp200 ribu. Sementara Kamaruddin lebih kecil lagi, yakni Rp150 ribu per bulan, (Ahmad Masruri, 2020, 9).

 

Jika di bandingkan dengan gaji para guru di luar negeri semisal, Jepang atau Malaysia sebagai negara tetangga kita? Sungguh sangat jauh dari kata sepadan. Jepang menggaji gurunya rata-rata 38 juta/bulan, dan yang baru diangkat di gaji sekitar 17 juta/bulan.

 

Sedangkan Malaysia, gaji guru maksimal 22,46 juta/bulan. (Lalu Reza, Wiwin, 2019, 296) sekali lagi, ini sangat wajar, karena negara yang penulis sebutkan di atas, paham bagaimana pentingnya guru sebagai dasar dan pondasi utama dalam membangun sebuah peradaban yang maju.

 

Masa depan guru Non PNS

Tampak begitu materialistik, seorang guru menghitung-hitung capek dan lelahnya dengan ukuran gaji. Nilai ikhlas rupanya tidak berlaku lagi oleh karena secuil materi yang selalu menghiasi pikiran dari para pendidik.

 

Menurut penulis, masalah pahala-keikhlasan dan gaji adalah perkara lain yang perlu dibedakan. Pahala tetap pahala, ikhlas tetap ikhlas. Namun, persoalan gaji semestinya diprioritaskan oleh negara.

 

Ikhlas itu urusan guru dengan tuhan, bukan malah ditukar dengan jumlah gaji. Jika nominal gaji menjadi standar ikhlas dalam berdedikasi, artinya guru PNS lebih terlihat tidak ikhlas dengan guru non PNS.

 

Ikhlas tidak bisa mengisi bensin motor yang habis, tidak bisa membiayai kebutuhan keluarga setiap hari. Artinya, jalan satu-satunya menghargai usaha dan keringat guru PNS maupun non PNS adalah menaikan gaji mereka, layani mereka seperti mereka yang selalu menjadi pelayan bagi generesi bangsa (murid-murid).

 

Jangan cuma menuntut profesionalitas guru dalam mengajar, karena guru non PNS juga butuh uang sekaligus insya Allah semakin berkah dan ikhlas dalam mengajar jika kesejahteraannya terpenuhi.

 

Penulis cukup yakin, jika kesejahteraan mereka (khusus guru non PNS) diperhatikan secara serius, maka profesionalitas dan kualifikasi guru mau—pun dosen akan dengan sendirinya meningkat.

 

Sebagai kalimat penutup, jika kita percaya bahwa pendidikan adalah pondasi kuat bagi majunya sebuah bangsa, maka harusnya hati dan pikiranpun tetap terbuka dengan sadar, memberikan kelayakan hidup dan kesejahteraan kepada para guru non PNS adalah bagian dari upaya membangun bangsa dengan mendorong serta memfasilitasi para aktor penting bagi kemajuan bangsa. Merdekakan guru.