Advertisement
![]() |
Foto ilustrasi. Seorang
guru mendidik muridnya di bawah pohon di Kamboja/Pixabay/Sasin Tipchai |
Sumber |
Fahrudin
Penulis |
Fahrudin
Info720.com—Sejumlah
pujian bertengger di pundak seorang guru, sebuah hadiah atas dedikasinya dalam
tugas mulia, yakni membimbing dan mendidik. Kalimat yang kerap disandangkan
oleh banyak orang kepada guru, seperti, ‘guru digugu dan ditiru’ ‘Guru pahlawan
tanpa tanda jasa’.
Bukan tanpa alasan, juga bukan pula pemberian secara
cuma-cuma, seluruh keistimewaan (terkecuali hal berupa finansial) yang dicapai
oleh para guru yang ia dapat dan diakui oleh masyarakat luas. Ini merupakan
indikator sederhana, bahwa profesi guru di mata masyarakat merupakan pekerjaan
yang mulia.
Apakah capaian
guru mendapatkan pengakuan dari banyak pihak tersebut berjalan lurus dengan
kesejahteraan hidup yang dirasakan olehnya, dalam hal materi dan kelayakan
hidup? khusus mereka yang mejadi guru non PNS. Pertanyaan ini penting
untuk di jawab, guna memperjelas posisi dengan kondisi yang di alami langsung
oleh seorang guru non PNS.
Bayangkan saja,
seorang guru yang konon katanya adalah golongan terdidik yang memiliki
tanggungjawab besar dalam mendidik, mengayom, dan mengarahkan para murid dalam
menjalankan misi besar dan mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, (UU No.
14 Tahun 2005, pasal 1 dan 2) hanya dihadiahi dengan bayaran yang tak masuk
akal, bahkan jauh dari kata pas-pasan. Kondisi ini sungguh berbanding
terbalik dengan profesi lain.
Alih-alih setelah kuliah ingin mengajar dengan mendapatkan
gaji yang cukup bahkan impian semua orang, tentu sangat berharap memuaskan.
Ternyata kenyataan hidup yang dialami oleh para guru non PNS begitu sangat memperihatinkan.
Berdasarkan hasil penelitian Ilyas Yasin, bahwa mereka hanya
digaji Rp100.000 (seratus ribu rupiah) perbulan (Ilyas Yasin dan Enung, 2021,
42).
Tanggungjawab sebesar itu, sayang tidak di imbangi oleh
pemerintah dengan imbalan yang cukup. Tentu ini bukan—lah menghitung kerja
maupun kinerja para guru non PNS dengan nilai materi.
Jujur saja, apa yang dilakukan oleh para guru jika di
materilkan tidaklah sebanding dengan jasa dan dedikasi yang mereka lakukan.
Belum lagi tanggungjawab guru dalam menunaikan tugas
mulianya menuai kritik dari banyak pihak. Terutama soal anak didiknya yang
kadang-kadang sulit dinasehati sehingga menimbulkan pertikain antara banyak
pihak, guru—pun ditimpali dengan tugas berat.
Kita mungkin pernah mendengar, bahwa kesalahan yang
dilakukan oleh para siswa, sering kali yang disalahkan adalah guru. Cerita
semacam ini bukan lagi canda tawa atau gurau belaka, tapi kenyataan yang
mungkin semua orang mengabaikan.
Hingga pada akhirnya guru—lah yang menanggung dosa atas
kenaifan anak didiknya. Suka dan tidaknya! Tentu guru tetap bertanggungjawab
walau kadang harus berurusan dengan pihak yang berwajib.
Meski cerita nestapa antara guru dan murid menghiasa sampul
media online maupun cetak, tetap saja orang-orang menyebutnya ulah ‘guru’.
Dunia ini memang tidak sedang berada dipihak guru. Negara
sekali—pun, seolah tidak tahu—menau, perihal apa yang menimpa guru-guru bangsa
dan terutam mereka yang menyandang status non PNS.
Guru dalam pelabelan ‘honorer’
Menurut E. Mulyasa, guru honorer atau penulis lebih
cenderung menggunakan kata non PNS adalah guru yang diangkat secara resmi oleh
pejabat yang berwenang untuk mengatasi kekurangan tenaga pendidik, namun belum
berstatus sebagai pegawai negeri sipil (E. Mulyasa, 2006).
Terkait dengan pelabelan honorer di depan kata ‘guru’ yang
belum PNS merupakan bagian dari problem dalam dunia pendidikan Indonesia.
Bagaimana tidak,
gangguan psikologi dari para guru yang belum di angkat sebagai PNS dihadapan
mereka yang sudah berstatus PNS secara langsung membuat guru belum berstatus
PNS merasa rendah diri (Lalu Reza, Wiwin, 2019, 293-303).
Disadiri dan tidak, kenyataan ini sudah terlanjur menyakiti
guru yang belum berstatus PNS. Serangan psikologis serta kurangnya perhatian
pemerintah pada guru yang belum PNS menambah deretan luka bagi para guru non
PNS.
Perbedaan gaji juga bak langit dan bumi, jauh panggang dan
api. Guru PNS, tentu setiap bulanya akan menerima gaji sekitar 7 jutaan saja
untuk guru yang sudah memiliki sertifikasi (Lalu Reza, Wiwin, 2019, 293-303).
Sedangkan gaji yang diterima oleh para guru dengan label
honorer per bulanya mendapatkan gaji yang menurut Darmaningtyas, memiliki
permasalahan yang cukup kompleks. Honor yang didapat oleh guru honorer di
Sekolah Dasar Negeri rata-rata di bawah Rp.5000,00 per jam per bulan,
(Darmaningtyas, 2004).
Lebih miris lagi, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
mencatat, rata-rata gaji guru honorer hanya berada di kisaran Rp200 ribu per
bulan. Seperti yang didapatkan Siswanto, setiap bulan tak pernah lebih dari
Rp200 ribu. Sementara Kamaruddin lebih kecil lagi, yakni Rp150 ribu per bulan,
(Ahmad Masruri, 2020, 9).
Jika di bandingkan dengan gaji para guru di luar negeri
semisal, Jepang atau Malaysia sebagai negara tetangga kita? Sungguh sangat jauh
dari kata sepadan. Jepang menggaji gurunya rata-rata 38 juta/bulan, dan yang
baru diangkat di gaji sekitar 17 juta/bulan.
Sedangkan Malaysia, gaji guru maksimal 22,46 juta/bulan.
(Lalu Reza, Wiwin, 2019, 296) sekali lagi, ini sangat wajar, karena negara yang
penulis sebutkan di atas, paham bagaimana pentingnya guru sebagai dasar dan
pondasi utama dalam membangun sebuah peradaban yang maju.
Masa depan guru Non PNS
Tampak begitu materialistik, seorang guru menghitung-hitung
capek dan lelahnya dengan ukuran gaji. Nilai ikhlas rupanya tidak berlaku lagi
oleh karena secuil materi yang selalu menghiasi pikiran dari para pendidik.
Menurut penulis, masalah pahala-keikhlasan dan gaji adalah
perkara lain yang perlu dibedakan. Pahala tetap pahala, ikhlas tetap ikhlas.
Namun, persoalan gaji semestinya diprioritaskan oleh negara.
Ikhlas itu urusan guru dengan tuhan, bukan malah ditukar
dengan jumlah gaji. Jika nominal gaji menjadi standar ikhlas dalam berdedikasi,
artinya guru PNS lebih terlihat tidak ikhlas dengan guru non PNS.
Ikhlas tidak bisa mengisi bensin motor yang habis, tidak
bisa membiayai kebutuhan keluarga setiap hari. Artinya, jalan satu-satunya
menghargai usaha dan keringat guru PNS maupun non PNS adalah menaikan gaji
mereka, layani mereka seperti mereka yang selalu menjadi pelayan bagi generesi
bangsa (murid-murid).
Jangan cuma
menuntut profesionalitas guru dalam mengajar, karena guru non PNS juga butuh
uang sekaligus insya Allah semakin berkah dan ikhlas dalam mengajar jika
kesejahteraannya terpenuhi.
Penulis cukup yakin, jika kesejahteraan mereka (khusus guru
non PNS) diperhatikan secara serius, maka profesionalitas dan kualifikasi guru
mau—pun dosen akan dengan sendirinya meningkat.
Sebagai kalimat penutup, jika kita percaya bahwa pendidikan adalah pondasi kuat bagi majunya sebuah bangsa, maka harusnya hati dan pikiranpun tetap terbuka dengan sadar, memberikan kelayakan hidup dan kesejahteraan kepada para guru non PNS adalah bagian dari upaya membangun bangsa dengan mendorong serta memfasilitasi para aktor penting bagi kemajuan bangsa. Merdekakan guru.