Advertisement
Penulis| Biem, Mahasiswa S2 UAD |Editor |SF
51 ribuan itu yang lolos seleksi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dan 8 ribu sisanya yang di angkat jadi PNS melalui tes. Tetapi yang 51 ribuan itu juga, belum jelas hasilnya. Lantaran regulasinya juga belum ditentukan oleh pemerintah. Namun, ‘pemerintah berjanji bahwa penyelesaian honorer K2 ini akan dilakukan sampai tahun 2023
Info720.com| Dalam UU No 20 Tahun 2003, di sebutkan oleh pemerintah bahwa 20 persen anggaran APBN difungsikan oleh negara untuk menyelesaikan soal pendidikan. Baik Kota maupun Daerah, semuanya sama dan berhak mendapatkan kelayakan, sistem, dan pelayanan yang baik.Ilustrasi, konflik tenaga kerja |Foto.Pixabay/Mohamed Hassan|
Tujuanya tiada lain, dan tiada bukan melainkan, untuk menjadi bangsa yang unggul, cerdas, kreatif, mandiri, dan taat pada Tuhan Yang Maha Esa, serta berkompeten dan berdaya saing di tingkat nasional maupun global.
Namun bagaimana dalam sistem, dan pelayanan pendidikan kita? Apa betul, masih ada jutaan guru honorer yang belum mendapatkan pelayanan, dan pendidikan yang baik? Coba kita analisa.
Sejak 2014 lalu sampai saat ini, honorer kategori dua (K2) tidak ada ujung penyelesaian masalahnya. Di tambah lagi P3K, membuat pemerintah akan terseok, dan semakin tercekik dalam penuntasan, dan penyelesaian masalah itu.
Namun bagaimana sikap pemerintah?
Kalau kita analisa dari database yang masuk dalam Badan Kepegawaian Negara (BKN), it baru terselesaikan 59 ribu orang honorer K2. Sementara sisanya masih 438.590 ribuan honerer.
Berikut rincianya, 51 ribuan itu yang lolos seleksi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dan 8 ribu sisanya yang di angkat jadi PNS melalui tes. Tetapi yang 51 ribuan itu juga, belum jelas hasilnya. Lantaran regulasinya juga belum ditentukan oleh pihak pemerintah. Namun, ‘pemerintah berjanji bahwa penyelesaian honorer K2 ini akan dilakukan sampai tahun 2023’.
Upaya dan pelaksanaan ini, yang kemudian kita tidak bisa menerimanya, terkait sistem dan kebijakan pemerintah itu sendiri. Tahun 2010, saat pemerintah mengeluarkan SE 05-2010, pemerintah mensyaratkan seluruh honorer K2 bekerja di sekolah negeri. Dengan kategori, dan ketentuan khususnya dibayar oleh non APBN/APBD. Dan standar usia yang dibutuhkan minimal 19 tahun, dan maksimal 46 tahun.
Namun itu bertentantangan dengan pekerjaan baru. Terkait perpres tentang jabatan PPPK, dan perpres tentang penggajian P3K, lalu kemudian, apakah pihak pemerintah akan mampu menyelesaikannya? Sepertinya tidak. Belum lagi DPR memasukan non kategori yang jutaan jumlahnya untuk jadi ASN. Langkah ini patut diacungkan jempol.
Tetapi, apa jawaban pemerintah? ‘Kami tidak bisa menyelesaikannya. Sebab anggaran APBN terlalu besar untuk subsidi pendidikan, maka kami harus potong’. Buktinya K2 belum selesai, yang katanya mau diangkat jadi aparatur sipil negara (ASN), namun tidak selesai juga akhirnya.
Saya kira untuk menjadi ASN, tidak ada pembuktian dan pernyataan tegas, lugas dari dinas kemendikbud, ‘bahwa guru honener itu akan di PNS–kan’. Tetapi di P3K–kan, baru ada. Logika matematisnya dimana?
Sementara Program Mentri P3K itu difungsikan oleh ASN untuk membatasi PNS.
Seharusnya sebagai kepala pendidikan. Lebih edukatif mendidik guru, dan para tenaga kependidikan lainya. Harus lebih ‘rojetelite’ lagi, —objektif, dan teliti lebih lengkap. Bukan malah menggoreng hak, dan isu kependidikan itu sendiri. Coba kita analisa jalanya pikiran pemerintah. Dari kepala negara saja, sudah mengatakan bahwa yang menyedot anggaran APBN paling besar adalah ‘guru PNS’.
Apa kita mau tunggu Komisi II, VI, dan X DPR RI untuk menanti aspirasi honorer? Tidak. Justru ketenagakerjaan PNS dijilid, dan dibungkus oleh guru P3K itu sendiri. Jadi hemat saya, kontradiktif sekali pihak pemerintah menyatakan bahwa guru—lah seolah-olah menghabiskan anggaran dan uang negara.
Jangan lagi kemudian 'menyela' dibalik jeruji kemunafikan dan ke—kolotan masa. Artinya, apa yang menjadi hak, kepentingan dan kepemilikan para guru, dan tenaga kependidikan itu harus ditunaikan dengan baik.
Maka kami sepakat inisiatif DPR RI kita harus merevisi kembali UU ASN (Aparatur Sipil Negara). Sebab jika tidak, akan berdampak pada output, atau hasil kependidikan kita.
Karena, kalau itu tidak ditelisik dengan baik. Maka upaya yang dilakukan oleh pihak pemerintah akan tetap melalui tiga mekanisme tadi. Pertama, ‘sikap pemerintah menyatakan harus lewat jalur PNS bagi yang usianya di bawah 35 tahun. Kedua, lewat PPPK bagi yang usia di atas 35 tahun. Dan yang terakhir jika tidak lulus P3K, dan PNS akan dikembali—kan ke daerah. Dengan notifikasi bahwa gajinya mereka akan disetarakan dengan UMR’.
Kami kira, ‘ini pembohongan secara terbuka' yang dipakai dalam sistem dan rumus kepemerintahan. Kasian honorer K2 dan nonkategori yang jutaan jumlahnya. Tanpa mereka, guru, dan tenaga kependidikan, kita tidak akan selesai, dan bisa bekerja. Lewat pass by pass. Ngak mungkin—lah.
Jangan lagi beralasan bahwa K2, dan nonkategori honorer itu tidak bisa diperlakukan seperti PPPK, dan PNS. Sebab sangat tidak mungkin untuk menjadi anggota ASN, tanpa standar nilai, dan qualifikasi yang maksimal. Jangan berkata seperti itu. Tidak boleh!
Pertanyaan, mau dikemakan para guru dan honorer yang sudah sekian puluhan tahun mengajar itu. Lantaran hak-haknya belum bisa tertunaikan dengan baik saat ini?
Maksud kami, seluruh hak-hak ‘PPPK VS PNS’ itu beda sistemnya, dan begitu pula dengan honorer K2 dan nonkategori yang berbeda juga prosesnya. Namun program, dan sistem guru dan tenaga kependidikan, harus diperlakukan dengan setara dan sama. Dalam artian tanpa pandang bulu dan diskrimitif.